Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.
Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu Nomor Satu.
Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.
Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial? Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998. Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding kesenian.
Kelumpuhan Budaya
Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers? Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa" persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.
Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.
Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.
Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai "raja kegelapan" yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis" Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan "pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.
Dari Garuda ke Emprit
Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar "tapel" --sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.
Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam.
Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar